SEPUTARHALAL.COM | Jakarta– Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap temuan mengejutkan dalam pengawasan bersama terhadap produk pangan olahan yang mengklaim telah bersertifikat halal. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa 11 batch dari 9 produk mengandung unsur babi (porcine), meskipun 7 di antaranya telah mengantongi sertifikat halal resmi.
Pengujian dilakukan menggunakan parameter DNA dan/atau peptida spesifik porcine. Sebagai tindak lanjut, BPJPH telah menarik produk dari peredaran dan memberikan sanksi kepada pihak produsen yang terbukti melanggar regulasi sertifikasi halal di Indonesia.
Founder dan CEO Halal Corner Indonesia, Aisha Maharani, menanggapi kasus ini sebagai peringatan serius terhadap sistem jaminan halal nasional. “Ini bukan sekadar soal temuan kandungan bahan haram. Ini menyangkut integritas seluruh proses sertifikasi halal dari hulu ke hilir,” tegas Aisha dalam rilis yang diterima Seputar Halal, Selasa (22/04/).
Dalam peraturan terbaru, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 yang menggantikan PP 39/2021, BPJPH memiliki peran sentral dalam pengawasan dan penerimaan laporan perubahan bahan atau proses produk halal. Namun, Aisha menyebut implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) masih belum optimal, bahkan kerap hanya menjadi dokumen formalitas.
“Di lapangan, SJPH hanya jadi template. Dalam skema Halal Self Declare, SJPH bahkan dihilangkan sama sekali. Ini membuka celah besar bagi penyalahgunaan,” ujarnya.
Pelaku usaha yang telah bersertifikat halal diwajibkan melaporkan perubahan bahan atau proses produksi kepada BPJPH dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) secara berkala, sesuai Pasal 51 huruf e dalam PP tersebut. Namun, Aisha menyoroti lemahnya pelaporan dan pengawasan berkala karena tidak adanya sistem validasi teknis yang kuat.
Salah satu kritik tajam juga disampaikan terhadap sistem sertifikasi halal yang saat ini tidak memiliki masa berlaku. “Ini ibarat jebakan batman. Tampak memudahkan, tapi justru membuka peluang manipulasi bahan dan data oleh pelaku usaha,” ujar Aisha. Ia menyerukan agar masa berlaku sertifikat halal dikembalikan ke sistem sebelumnya, yakni per dua tahun, demi memastikan komitmen berkelanjutan dari para produsen.
Lebih lanjut, mayoritas produk bermasalah merupakan produk impor. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait pengakuan terhadap lembaga halal luar negeri yang proses kurasinya dinilai belum ketat.
Aisha juga menyoroti lemahnya koordinasi antarlembaga terkait sebagai faktor yang memungkinkan pelanggaran standar halal luput dari pengawasan dan kemudian mencuat ke publik.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem halal nasional untuk memperkuat regulasi, pengawasan, serta sinergi lintas lembaga demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap label halal di Indonesia.[]