
SEPUTAR HALAL | Dalam dunia sertifikasi halal, ada aturan penting yang harus dipatuhi agar sebuah produk bisa disebut halal. Tentunya, ini merujuk pada standar halal yang sudah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam fatwa MUI, dijelaskan berbagai hal yang bisa menggagalkan upaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Salah satu dokumen penting yang mengatur ini adalah Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 mengenai penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak layak untuk disertifikasi halal.
Fatwa ini ditandatangani oleh KH Hasanudin Abdul Fattah dan Prof KH Asrorun Niam Sholeh, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Di dalam fatwa ini, ada beberapa kategori produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikasi halal.
Pertama, produk yang menggunakan nama atau simbol yang berkaitan dengan kekufuran, kemaksiatan, atau yang memiliki konotasi negatif. Kedua, produk yang menyebutkan nama benda atau hewan yang diharamkan. Namun, ada pengecualian untuk produk yang sudah menjadi tradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung bahan haram, seperti yang dicantumkan di fatwa tersebut.
Di samping itu, ada pandangan bahwa tidak ada risiko salah paham jika mengonsumsi hewan yang diharamkan, selama ada makna lain yang relevan dan sudah umum digunakan. Selanjutnya, produk yang membentuk gambar babi dan anjing dalam berbagai bentuk tidak bisa disertifikasi halal. Begitu juga dengan produk yang kemasannya memiliki gambar babi dan anjing sebagai fokus utama.
Terakhir, produk yang mengandung rasa atau aroma dari barang atau hewan yang haram juga termasuk dalam kategori yang tidak bisa mendapatkan sertifikasi halal, ditambah lagi kemasan yang menggambarkan bentuk atau gambar yang bersifat erotis dan pornografi.
Jadi, penting banget untuk memperhatikan semua hal ini jika ingin suatu produk mendapatkan sertifikasi halal!
Sumber: MUI